Orangtua vs Anak
Di zaman yang serba canggih ini, memiliki anak masih menjadi opsi yang paling banyak ditempuh oleh pasangan yang telah menikah. Entah karena dalil agama, tuntutan sosial, rasa iri terhadap pasangan lain yang sudah memiliki anak, atau bahkan banyak pasangan yang merasa bahwa salah satu tujuan menikah adalah untuk memiliki keturunan.
Photo by Liv Bruce on Unsplash |
Sebenarnya tidak ada yang salah sih, apalagi semua orang memiliki pilihan masing - masing mengenai apa yang terbaik untuk hidupnya. Perspektif benar di mata manusia berbeda - beda. Di pandangan kita suatu hal adalah benar, belum tentu bagi orang lain juga benar.
Namun, ada satu benang merah yang mengusik benak saya mengenai hubungan orangtua dan anak. Ketika kita ingin memiliki anak, sudahkah kita menjadi orangtua yang qualified?
Saya, dan mungkin kalian semua sepakat bahwa setiap anak berhak atas orangtua yang qualified. Qualified seperti apa dulu? Apakah baik saja cukup? Apakah memberi makan saja cukup? Apakah diberi kasih sayang saja cukup?
Pada berita masa kini, marak terjadi pemerkosaan Ayah terhadap anak perempuannya, atau bahkan Ibu terhadap anak lelakinya. Kekerasan terhadap anak juga bukanlah hal yang baru di kalangan masyarakat kita, bahkan generasi sandwich bertebaran di negara tercinta kita ini. Anak yang dibuang, atau dijual kepada orang lain atas iming - iming 'adopsi'. Banyak sekali keganjilan pola asuh yang diciptakan oleh makhluk kreatif ini.
Memiliki anak adalah tanggungjawab yang berat, cukup menguras emosi dan tenaga. Bagaimana tidak, anak adalah manusia generasi penerus yang harus dididik dan dibimbing secara tepat oleh orangtuanya. Ketika orangtua gagal dalam membimbing anak, yang ditakutkan adalah, anak akan menjadi bumerang di masa depan nanti, baik bagi orangtuanya, maupun dirinya sendiri. Sebab, didikan masa kecil hingga remaja itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dewasa seorang manusia.
Beberapa kali saya melihat kasus anak yang ingin memenjarakan Ayah atau Ibunya yang sudah renta, demi harta warisan. Reaksi masyarakat yang umum terjadi pada kasus itu adalah,
"Dasar anak durhaka!"
"Anak gatau diri, udah dilahirin ke dunia, diurus, ditimang - timang, digedein sampe jadi orang, malah pengen penjarain Ibu/ Ayahnya!"
"Amit - amit punya anak kayak gitu!"
"Dunia udah gila ya!"
Well, dari segi manapun, memang tak bisa ditalar dengan logika sehat, bahwa ada anak yang ingin memenjarakan orangtuanya. Saya tak membenarkan perilaku tersebut sama sekali. That's a fact. Namun, jika kita melihat dari perspektif yang tak banyak dilihat oleh mayoritas manusia, ada beberapa pertanyaan yang seharusnya ditanyakan kepada orangtuanya,
"Bagaimana pola asuh Bapak/ Ibu terhadap anak Anda sewaktu kecil dan remaja?"
"Mengapa anak Anda bisa berpikir untuk memenjarakan Anda? Apa sebabnya?"
"Adakah kebencian anak terhadap Anda yang selama ini terpendam atau bahkan terang - terangan dilimpahkan kepada Anda?"
"Apakah Anda termasuk orangtua yang toxic atau wajar menurut Anda?"
"Bagaimana perasaan anak Anda selama ini kepada Anda sebagai orangtuanya?"
Apa yang kita tuai, itu yang kita tabur, bukan? Jika kita melihat dari perspektif minor ini, kita bisa saja mengetahui alasan anak tega memenjarakan orangtua hanya demi harta warisan, dan bahkan memilih bersikap netral terhadap kasus ini, sebab sebagai penonton, kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada masa lalu mereka. Jadi, menyalahkan sang anak 100% adalah hal yang keliru, dari perspektif minoritas ini. Ya, namanya juga minoritas, pasti banyak yang tak setuju dengan perspektif ini.
Bukankah ada anak yang memang benar durhaka tetapi orangtuanya sangat baik? Ya, pasti ada. Bisa jadi pengaruh dari lingkungan pergaulan, atau bisa jadi, orangtuanya merasa sudah mengasuhnya dengan baik, tetapi anaknya malah memberontak. Contoh, anak yang selalu dituruti keinginannya oleh orangtuanya, menjadikan anak tersebut manja dan terlalu bergantung kepada orangtuanya. Orangtua menganggap itu kasih sayang yang wajar untuk anaknya, tetapi anaknya malah menjadikan hal itu sebagai fasilitas seumur hidup, bahkan saat dewasa tak mau bekerja ataupun membantu mengerjakan pekerjaan rumah, karena sedari dulu hal itu dilakukan oleh orangtuanya. Orang lain mungkin menganggapnya anak durhaka, tetapi kenyataannya, pola asuh orangtua yang kurang tepatlah yang menjadikan anaknya seperti itu.
Lalu, pernahkah kamu mendengar anak yang benci atau asing dengan salah satu orangtuanya atau bahkan semua anggota keluarganya? Pasti pernah ya. Semua kemungkinan bisa terjadi, bahkan benci dengan anggota keluarga sekalipun.
Contoh, saya ambil kasus KDRT. Seorang Ayah yang temperamental sering memukuli istrinya disaat beliau marah atau tak terpenuhi keinginannya. Setelah anaknya lahir, anaknyapun sejak kecil menjadi sasaran empuk kekerasan lainnya oleh Sang Ayah.
Apa yang terjadi pada sang anak? Anak akan menumpuk rasa sakit, sedih dan bahkan rasa iri kepada Ayah teman - temannya yang penyayang. Selain itu, ketakutan yang menumpuk karena tak mampu membela dirinya sendiri dan ibunya ketika dipukuli, menjadikan semua rasa pilu bercampur jadi satu dan membesar seiring berjalannya waktu, menjadi trauma dan rasa benci atau bahkan jijik terhadap Ayahnya. Trauma akan laki - laki, laki - laki dewasa, dan bahkan pernikahan. Terbentuk trust issue dalam menjalani hubungan dengan lawan jenis saat dewasa.
Meskipun ini hanyalah spekulasi, tetapi nyatanya banyak kasus seperti ini terjadi di kalangan masyarakat kita.
Bahkan, ada kisah nyata yang pernah saya baca, bahwa seorang anak perempuan, bahkan satu keluarga tak merasa pilu akan wafatnya sang Ayah. Ternyata, sejak kecil, Sang Ayah memperlakukan anak - anaknya dengan dingin. Memang, beliau bertanggungjawab dan menafkahi semua kebutuhan sandang, pangan, papan sang anak, tetapi kebutuhan batin, yaitu kasih sayang dari seorang Ayah, jarang, bahkan hampir tak pernah diberikan oleh beliau. Kesan tak peduli pada anak melekat sepanjang hidup beliau, bahkan mengobrol dengan anakpun bisa dihitung jari frekuensinya. Bayangkan, kamu serumah dengan Ayah atau Ibumu, tetapi kamu tak pernah mengenal siapa mereka sebenarnya. Memiliki keluarga, tetapi tak merasakan kehangatan keluarga.
Lain lagi dengan generasi sandwich. Di mana manusia menafkahi dua generasi setelah menikah, yaitu orangtuanya dan anaknya. Atau anak yang dijadikan investasi masa depan, dijadikan sapi perah atau ATM berjalan, sehingga orientasi terhadap anak adalah uang, uang dan uang. Ketika anak tak memberikan uang, maka anak akan dianggap beban, tak tahu terimakasih, durhaka, bahkan ada yang tega mengusir anak karena tak mampu memberi uang kepada orangtuanya.
Kasus lain, anak yang diberi kepada orang lain karena tak mampu untuk mengurusnya. Atau anak yang dijual kepada orang lain dengan tameng 'adopsi'. Atau yang lebih menyedihkan lagi, anak baru lahir yang dibuang ke tempat yang tak layak atau ke panti asuhan. I mean, the world is crazy, isn't it?
Pernah saya tahu suatu kisah nyata, bahwa ada seorang anak yang diberi ke orang lain oleh orangtuanya sejak ia bayi. Lalu, saat sang anak sudah dewasa, orangtua kandungnya berharap agar sang anak dapat menghadiri acara syukuran umrah mereka. Kamu tahu? Anaknya tak datang. Lalu, orangtua kandungnya menangis dan sakit hati karena merasa tak dihargai oleh anak kandungnya sendiri. Lagi - lagi, saya hanya bisa menggelengkan kepala berkali - kali melihat tingkah orangtua semacam ini.
Loh, harusnya saya menyalahkan anaknya dong? Saya hanya bisa tertawa. Orangtuanya begitu egois dengan perasaannya sendiri. Jelas sekali, anaknya merasakan perasaan asing, bahkan marah dan benci kepada orangtua kandungnya. Bagaimana tidak, sang anak dirawat oleh orang lain hingga dewasa, sehingga yang dianggap orangtua olehnya adalah orang lain tadi. Bonding antara orangtua asuh (tak toxic) dan anak angkat, jauh lebih besar, bahkan mungkin saja tak tersisa untuk orangtua kandung yang telah membuang/ menjual/ memberinya kepada orang lain. Bagaimana mungkin mereka tak merasa bersalah, atau mungkin merasa bersalah tetapi memaksa sang anak untuk memaafkan mereka? Mungkin dengan dalil - dalil agama, memaafkan kesalahan fatal seseorang, apalagi orangtua adalah hal yang baik bahkan mulia, tetapi kita, manusia tak sesempurna itu, bukan? Rasa trauma yang dihasilkan sejak kecil tak mudah untuk dilepaskan begitu saja, bahkan mungkin bisa tertanam dalam sanubari hingga kematian menjelang. Mungkin kamu pernah dengar kalimat ini,
"Sekali gelas kaca pecah, bentuknya tak lagi sama."
Secara logika, gelas kaca yang pecah akan menghasilkan puing pecahan, yang jika disatukan kembali dengan kekuatan lem, garis retakan akibat peristiwa 'pecah' tadi terlihat jelas, dan sulit untuk disamarkan, bahkan dihilangkan. Begitupula dengan kesalahan. Sekali kita berbuat kesalahan yang fatal terhadap seseorang, apalagi berulang kali, mungkin bisa saja dia memaafkan kita, tetapi satu yang pasti, dia takkan pernah bisa lupa dengan kesalahanmu yang fatal tadi. Pasti reaksi yang ditimbulkan berbagai macam, entah menolak memaafkan, atau seolah tak ingin mengenal lagi, atau bahkan terbentuk trust issue yang berkepanjangan. Namun, jika memang ada yang bisa memaafkan semudah itu, manusia itu hanya populasi nol koma sekian persen di muka bumi ini. Saya akui, saya bukan termasuk salah satunya.
Lain lagi, masa remaja merupakan masa manusia yang sedang meraba mencari jati diri. Namun, apa jadinya jika sejak remaja anak harus berpisah dengan orangtuanya? Yakinlah, masa remaja ini sama pentingnya dengan masa kecil. Ketika masa remaja tak bisa mendapat bimbingan yang baik dari orangtua, kehidupan dewasa kita akan oleng. Banyak orangtua yang meremehkan hal ini. Menitipkan anak yang masih remaja kepada sanak saudara, entah demi sekolah, pekerjaan, atau memang dititipkan karena tak mampu membiayai kehidupan sang anak. Padahal, sang anak masih labil dan butuh tempat pulang yang nyaman dan hangat. Dengan sanak saudara, ia diperlakukan tak semestinya. Banyak anak remaja yang tinggal di rumah sanak saudara, berakhir dengan konflik berkepanjangan, karena bisa jadi, pola asuh orangtua sang anak tak bisa diterima oleh sanak saudaranya, atau mereka mengharapkan imbalan/ tak ikhlas jika sang anak menumpang di rumah mereka. Sang anak juga tak merasa nyaman dan aman tinggal di sana.
Lebih gila lagi, kasus pemerkosaan yang saya sebutkan di awal artikel ini, begitu menjijikkan. Begitu tak terkontrolnya nafsu birahi hingga anak menjadi korban. Untuk kasus ini, saya masih gagal paham, apakah ini suatu penyakit mental orangtuanya, atau hanya akal - akalan manusia yang tak punya otak. Yang jelas, ini adalah perbuatan keji, sekeji - kejinya!
Dari beberapa kasus hingga spekulasi yang telah diuraikan, apakah kita masih bisa menganggap bahwa menjadi orangtua itu mudah? Tidak, bukan?
Menjadi orangtua itu, butuh kesiapan mental, keuangan yang memadai, dan wawasan yang luas tentang ilmu parenting. Apalagi, seperti yang dikatakan Elon Musk,
"My children didn't choose to be born, I chose to have children. They owe me nothing, I owe them everything."
Well, memang benar. Orangtua bisa saja untuk memilih child free, tetapi ketika orangtua memilih untuk memiliki anak, orangtua harus bertanggungjawab terhadap keputusannya, membesarkan mereka dengan kasih sayang yang luas dan membimbing mereka dengan kebaikan tanpa lelah dan pamrih.
1. Kesiapan Mental
Bagaimana kita bisa tahu, bahwa kita siap secara mental untuk memiliki seorang anak?
Mungkin kamu tidak setuju, tetapi jawaban versi saya adalah, ketika kita telah berdamai terhadap masalalu, diri sendiri, dan keadaan. Trauma takkan pernah hilang, tetapi saat sudah berdamai dengan semua itu, trauma akan teredam dan takkan menimbulkan siklus berulang di masa depan. Siklus apa maksudnya? Yaitu siklus kecenderungan untuk melakukan kesalahan yang sama di masa lalu, sebagai bentuk balas dendam terhadap trauma yang telah digoreskan oleh seseorang di masa lalu kita. Contohnya, ketika seseorang mengalami kekerasan fisik oleh Ibunya di masa kecil bahkan hingga remaja, jika dia belum berdamai dengan semua itu, dia bisa saja melakukan kekerasan terhadap orang lain, apalagi anaknya, sebagai bentuk pelampiasan trauma masalalu.
Setiap orang memiliki survival mental yang berbeda - beda. Ada yang bisa healing mental sendiri, tetapi banyak pula yang membutuhkan orang lain sebagai healing dari trauma masalalu. Healing sendiri, bisa berarti dia ke psikolog atau ke psikiater sendirian, dan berusaha sekuat mungkin agar sembuh. Atau dengan melakukan kegiatan sosial, yang melibatkan manusia lain untuk berbagi, atau traveling dan mengenal berbagai karakter manusia, dan hal yang menenangkan lainnya, sehingga healing dengan kegiatan seperti ini bisa membuatnya perlahan sembuh terhadap trauma masalalunya.
Bagaimana dengan yang membutuhkan orang lain sebagai tempat healing trauma? Orang lain yang dimaksud adalah seseorang. Tempat berbagi keresahan dan sarana mendulang mindset positif untuk meredakan trauma, dan kamu akan bergantung padanya. Siapa seseorang itu? Bisa sahabat yang bijak, atau orang bijak random yang kamu temui di jalan dan akhirnya berkomunikasi rutin dengannya, atau pasangan yang bijak. Yang paling banyak, bahkan sering dijumpai pasti pasangan sih.
Mengapa saya katakan pasangan? Sebab, pasangan adalah seseorang yang berusaha mencintai kita secara tulus, bahkan banyak yang rela berkorban demi sang kekasih. Pada pasangan, kita akan menginvestasikan banyak waktu yang kita miliki, hingga akhirnya menikah, dan waktu bersamanya bahkan full setiap hari.
Lalu, apa hubungannya pasangan dengan healing trauma? Mungkin ini hanya saya ya, sebelum menjalani hubungan yang serius dengan seseorang, sebelum perasaan semakin dalam dengannya, alangkah lebih baik kita memberitahu tentang trauma yang kita miliki. Mungkin, sebagian besar orang berpikir bahwa ini sama saja dengan membeberkan semua aib diri. Namun, bagi saya, kita akan tahu, apakah seseorang tulus mencintai kita apa tidak, dengan mengetahui trauma kita. Jika dia menjauh karena itu, dia bukanlah orang yang tepat untukmu. Jika dia tetap lanjut dan berusaha bersamamu berjuang menyembuhkan trauma masalalumu, jangan sia - siakan dia. Selain itu, kita juga bisa mengetahui tindakan apa yang akan dilakukannya, entah hanya mendengarkan saja, atau turut serta memberi solusi. Terkadang, ada yang memberikan solusi asal - asalan, ada yang memberikan solusi bijak untuk healing trauma. Yang memberikan solusi bijaklah pilihan pasangan yang tepat.
Coba, kamu bayangkan. Kamu punya masalalu yang buruk. Trauma berkepanjangan. Kamu jatuh cinta dengan seseorang. Kamu tak tahu, atau mungkin tahu bahwa diapun memiliki trauma tersendiri di masalalunya. Lalu, kalian menikah. Karena menikah kalian punya anak. Apa yang terjadi selanjutnya? Satu persatu mulai terkuak, karena kalian belum bisa berdamai dengan diri sendiri, kalian melimpahkan semua tumpukan trauma kepada anak yang tak bersalah. Dengan kalian bersatu dalam pernikahan, hal itu tak menjadikan salah satu atau kalian berdua berdamai dengan diri sendiri. Kalian hanya terkungkung dalam perangkap trauma masing - masing, egois memikirkan bahwa kalianlah yang paling tersakiti, terlepas dari mapan atau tidaknya pernikahan kalian, ketika mental kalian seperti ini, yakinlah, pernikahan takkan harmonis, dan kejamnya lagi, anak kalianlah yang harus menanggung pedihnya limpahan trauma dari dua orang manusia yang belum berdamai dengan diri sendiri. Masih lebih baik jika hanya satu anak, bagaimana jika kalian memiliki banyak anak? Anak yang pemberontak, temperamental, egois, oportunis, dan banyak hal buruk lainnya akan berdampak pada sifat dan sikapnya terhadap manusia lain. Sebab, sang anak bercermin dari orangtua tentang bersikap kepada orang lain.
Terdengar kejam ya? Itulah yang sering terjadi di kehidupan ini. Siklus trauma yang berulang dari generasi ke generasi menjadi momok terbesar yang menyebabkan semakin merajalelanya immoralitas di dunia ini. Siapa yang salah? Orangtuanya. Kemudian sang anak menjadi orangtua dan melakukan kesalahan orangtuanya yang dulu. Siapa yang salah lagi? Anak yang telah menjadi orangtua. Begitu saja terus siklusnya jika dari generasi ke generasi tak bisa berdamai dengan diri sendiri. Sayangnya, masih banyak manusia yang tak menyadari pentingnya healing trauma ini, apalagi jika memiliki survival mental yang rendah, dan salah pilih pasangan, buyar sudah keinginan kehidupan damai bak akhir kisah Cinderella yang bahagia.
Oleh karena itu, saya salut dengan keluarga yang harmonis. Orangtua dari keluarga harmonis mampu menghasilkan anak - anak yang cerdas, bermental sehat, dan ber-attitude baik, juga bahagia. Saya punya satu teman yang mungkin dari luar selalu terlihat bahagia. Keluarganya harmonis, dan Ibunya juga sangat baik pada saya. Dulu saya pernah iri dengan teman saya ini, tetapi mungkin saja saya tak tahu masalah apa yang ada di dalam keluarganya. Pernah sekali, dia agaknya tersinggung, karena Ibunya membandingkan dirinya dengan saya yang begini, begini, dan begini. Bahkan saya yang kehidupannya jauh lebih memprihatinkan daripada dia, tetapi Ibunya masih bisa membandingkan anaknya dengan saya. Well, manusia tak sempurna, ya? Hanya itu masalah yang saya ketahui tentang hidupnya. Selebihnya, dia selalu terlihat bahagia di media sosial. Semoga kenyataannya memang demikian. I wish them all the best!
Photo by Timothy Eberly W. on Unsplash |
Namun, ada saja anak dari keluarga harmonis yang masih belum tahu kenyataan pahit di dunia ini, bahwa tak semua orang mencintai keluarganya, atau orangtuanya. Mungkin main mereka kurang jauh kali ya. Atau bahkan meremehkan anak - anak yang broken home, seolah - olah mereka tak pantas untuk dicintai dan ditemani. Padahal, tak semua anak broken home menjadi toxic, banyak juga yang berjuang untuk sembuh dari trauma. Anak dari keluarga harmonispun belum tentu tak toxic. Sekali lagi, empati mereka kurang dalam kali ya.
Bagaimana, lebih berat jadi orangtua atau anak?
Tentu saja orangtua! Tanggungjawabnya luar biasa, salah bimbing sedikit bisa fatal di kemudian hari.
Lalu, apakah jadi anak tak berat? Ya berat juga, tetapi kondisional. Berat, jika orangtuamu belum siap mental, atau belum healing trauma masalalu. Jadi, kamu sebagai anak malah menampung beratnya trauma yang dialami mereka. Jika orangtuamu merupakan pasangan yang harmonis, tentu lebih berat tugas orangtuamu, untuk mempertahankan kualitas kebahagiaan yang baik bagi anaknya.
Jadi, sebelum memutuskan untuk memiliki anak, jauh sebelum itu, berdamailah dengan dirimu sendiri terlebih dulu. Jika tak bisa healing mandiri, carilah pasangan yang bisa menjadi tempat healing trauma bagimu. Pasangan yang tepat, yang bisa menjadikanmu lebih baik, dalam segi apapun, sehingga kalian akan menghasilkan anak - anak yang bahagia dan sehat mental, karena orangtuanya sudah sembuh dari trauma masalalu.
2. Kondisi Keuangan yang Memadai
Tak melulu soal uang, tetapi dengan memiliki keuangan yang cukup memadai, anak bisa lebih terjamin secara gizi, kebutuhan lahirnya, dan penggalian potensinya.
Apalagi nutrisi saat hamil dan masa pertumbuhan anak di 1000 hari pertama sejak ia lahir, merupakan salah satu penentu masa depannya. Jika nutrisi tak terpenuhi, anak akan mengalami risiko stunting. Dilansir dari HelloSehat, stunting adalah kondisi di mana anak mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan tubuhnya lebih pendek ketimbang teman - teman seusianya karena kekurangan nutrisi. Stunting bisa disebabkan oleh kekurangan nutrisi saat hamil, tak mendapat ASI eksklusif, hingga MPASI yang kurang berkualitas gizinya.
Kamu tahu? Stunting tak hanya menyebabkan tubuh anak lebih pendek dari seusianya, tetapi terdapat risiko jangka pendek pada anak:
- Terganggunya perkembangan otak dan kecerdasan.
- Adanya gangguan pada pertumbuhan fisiknya.
- Adanya gangguan metabolisme tubuh.
Sedangkan jangka panjangnya:
- Menurunkan kemampuan perkembangan kognitif otak anak.
- Kekebalan tubuh lemah sehingga mudah sakit.
- Risiko tinggi munculnya penyakit metabolik seperti obesitas.
- Penyakit jantung.
- Penyakit pembuluh darah.
- Kesulitan belajar; tingkat produktifitas rendah dan sulit bersaing dalam dunia kerja.
- Bagi anak perempuan yang mengalami stunting, saat hamil di masa depan nanti (maternal stunting), akan mengalami perlambatan aliran darah ke janin serta pertumbuhan rahim dan plasenta. Bukan tidak mungkin, kondisi tersebut berdampak pada kondisi bayi yang akan dilahirkan.
- Bayi yang lahir dari ibu dengan tinggi badan di bawah rata - rata berisiko mengalami komplikasi medis yang serius, bahkan pertumbuhan yang terhambat.
Bayangkan, jika makan untuk diri sendiri saja sulit, bagaimana kita bisa memberikan makan yang layak untuk anak kita? Berat ya jadi orangtua.
Selain nutrisi, anak juga berhak atas sandang dan papan yang layak. Dan juga, penggalian potensinya, jika keuangan memadai, potensi anak akan lebih mudah terlihat dan didalami.
Anak minat pada musik, orangtua bisa membelikannya alat musik yang ia inginkan. Anak minat melukis, orangtua bisa membelikan alat lukis yang beragam. Anak minat dengan komputer, orangtua bisa memfasilitasi anak dengan seperangkat komputer canggih. Enak, kan jika keuangan memadai?
Namun, banyak juga anak - anak dari kalangan menengah ke bawah harus berjuang menemukan bakat dan minat mereka, bahkan ketika sudah tahu, mereka masih sulit mendalami apa yang mereka suka, karena kekurangan fasilitas. Kita tahu bahwa tak semua orang beruntung punya privilege keuangan yang memadai, tetapi tetap ingin menikah dan berkeluarga. Oleh karena itu, sikap pantang menyerah tetapi tetap qana'ah, diperlukan untuk mencapai impian, sehingga sifat ini bisa diajarkan kepada anak.
3. Memiliki Ilmu Parenting yang Cukup Memadai
Menjadi orangtua itu... tak boleh bodoh! Sebelum menjadi orangtua, perbanyaklah membaca sumber - sumber yang relevan, bertanya kepada ahlinya, atau bertanya kepada yang berpengalaman.
Namun, yang berpengalaman ini belum tentu selalu benar. Bisa jadi mereka salah, atau bahkan tidak cocok dengan pola parenting yang ingin kamu terapkan. Contohnya: banyak para orangtua zaman dulu yang berpikir bahwa anak bayi menangis karena lapar. Padahal, sejuta alasan bisa terjadi. Bisa jadi bayi kepanasan, kedinginan, tak nyaman dengan popoknya, haus dan sebagainya. Pemikiran kolot yang masih banyak digandrungi orangtua zaman dulu ini sangat berbahaya, jika kita hanya menuruti mereka tanpa konfirmasi ke ahli atau sumber yang relevan. Banyak anak bayi yang meninggal karena diberi makan oleh Ibunya (menuruti kata orangtua zaman dulu atau hanya berasumsi). Salah satunya dilansir dari Suara, bahwa bayi 4 bulan meninggal karena diberi makan nasi selama seminggu! Jangan sampai kita menjadi orangtua bodoh ya!
Menjadi orangtua adalah pembelajaran seumur hidup. Sebab, mungkin saja ini pertama kalinya kita memiliki anak, atau pertama kalinya memiliki dua anak, dan semuanya adalah pengalaman pertama bagi semua orang. Jadi, jangan pernah berhenti belajar untuk menjadi orangtua yang lebih baik lagi ya, Personaria!
Terimakasih sudah mengunjungi Personagram. Jangan lupa kunjungi Personagram di Instagram ya (@personagram.id dan @fellowinfj)! Ied Mubarak!
Comments
Post a Comment