Asumsi Klasik INFJ

Hello, Fellow INFJ!

Sebagai salah satu pemilik Ni dominan, INFJ dianugerahi imajinasi, khayalan, dan ilusi yang kaya akan insight. Semua ini sangat familiar di benak kita sebagai INFJ. Bahkan, ketika kita melakukan aktifitas, pikiran kita bisa ke mana - mana, fokus kita sering buyar, sebab pikiran kita selalu sibuk, dan seringkali terjadi kecelakaan karena hal tersebut, bukan?

Di artikel ini, saya ingin membahas salah satu dari sekian banyak detail yang memenuhi imajinasi kita, yaitu asumsi, yang selalu diawali dengan kalimat, 'Bagaimana jika...?', atau biasa kita sebut dalam bahasa sehari - hari dengan kalimat 'Gimana ya kalau...?'

Photo by Charles Deluvio on Unsplash

Sebenarnya tidak selalu dengan frasa ini, bisa juga dengan, 'Pasti dia begini, aku rasa dia begitu', dan banyak lagi.

Sebagai INFJ, kamu pasti sudah tak asing dengan berbagai frasa kalimat ini.

Bagaimana jika dia marah padaku? 
Bagaimana jika dia bukan orang yang tepat untukku?
Bagaimana jika aku mati gara - gara hal itu?
Bagaimana jika dia berniat jahat terhadapku?
Bagaimana jika aku menjadi kekasihnya?
Bagaimana jika beliau hanya ingin memanfaatkanku?
Pasti dia tak suka bermain denganku. 
Pasti aku tak bisa melakukan itu.
Dan banyak lagi.

Asumsi ini berasal dari kumpulan beberapa data alam bawah sadar yang direfleksikan sebagai dugaan atau ramalan akan masa depan, baik melalui data pengalaman masa lalu (trauma atau bahagia), data masa kini, maupun apa yang kita inginkan. Walaupun kita bisa mengambil data asumsi dari masa kini, data tersebut bisa terdistorsi ketika dalam keadaan terdesak/ tersudut, sehingga bentuk asumsi menjadi beda makna dari yang seharusnya. Walaupun begitu, asumsi bisa menjadi kenyataan di masa depan, bisa juga tidak. Sifatnya gambling.

Diawali dengan berbagai frasa kalimat ini juga, terciptalah skenario khayalan dalam benak kita yang tersusun secara acak dan tiba - tiba. Bisa berupa skenario positif, maupun negatif. 

Contohnya begini. Ini pengalaman nyata saya. Saat awal berpacaran dengan suami, saya pernah berasumsi, "Bagaimana jika dia membawa misi tertentu untuk mendekatiku?".

Serius! Itu adalah asumsi aneh, tapi saya sempat curiga dengannya, dan beranggapan bahwa dia hanya mendekati saya karena sebuah misi. Misi negara lebih tepatnya. Sampai sekarangpun, dia masih ingat asumsi itu dan menertawakannya karena menganggap saya berpikiran konyol. Well, memang konyol sih ya, lol

Karena terkadang tidak sesuai realita, asumsi ini bisa menjadi bumerang bagi INFJ. Sebab dengan asumsi yang kita buat dalam benak, kita menjadikan itu sebagai prinsip dan kebenaran mutlak. Inilah yang seringkali membuat kita keras kepala. Apalagi jika sedang bertengkar atau berdebat dengan seseorang, asumsi tadi bisa memperkeruh suasana dan malah makin memperparah pertengkaran yang ada.

Supaya lebih mudah dipahami, saya beri contoh ilustrasi. Kamu sedang bertengkar dengan temanmu karena meributkan barangnya yang hilang karena kamu pinjam. Padahal, kamu merasa, kamu berasumsi bahwa kamu sudah mengembalikannya langsung kemarin sore. Kamu tetap bersikeras, temanmupun begitu. Kamupun berasumsi bahwa temanmu ceroboh meletakkan barangnya, sehingga barangnya hilang. Akhirnya, setelah pertengkaran berhenti, kamu kembali pulang, dan mendapati barang yang kamu pinjam darinya masih ada di kamarmu. Kamu malu dan mengutuk diri sendiri sebab kamu menyadari apa yang kamu berikan kepada temanmu kemarin sore adalah oleh - oleh dari kampungmu. Kamu merasa bahwa pertengkaran itu tidak seharusnya terjadi, dan kamu merasa bersalah.

Photo by Jessica Da Rosa on Unsplash

Hey, contoh ilustrasi tadi sebenarnya seringkali terjadi dalam kehidupan kita, bukan? Kita berusaha membela diri sekuat mental dan tenaga dengan berasumsi sesuai dengan data pengalaman masa lalu ataupun apa yang kita mau. Bagaimana jika pengalaman masa lalu kamu salah? Bagaimana jika ada miskonsepsi atau kelupaan? Apalagi INFJ memiliki memori jangka pendek yang cukup payah, sehingga kita kerap disebut pelupa. Oleh karena itu, yang tadinya asumsi berasal dari pengalaman masa lalu, malah terdistorsi dan diramu kembali dengan data dari 'apa yang kita mau'.

Skenario asumsi dari contoh di atas mendeskripsikan bahwa 'aku telah mengembalikan barangmu kemarin sore', merupakan distorsi positif dari skenario sebenarnya 'aku memberimu oleh - oleh dari kampungku kemarin sore'. Intinya sama - sama memberikan sesuatu, tetapi objek yang diberikan dan niat pemberian itu berbeda. Jadi, kita membuat skenario teraman dan sesuai yang kita mau, untuk membela diri. Ini masih dalam asumsi positif, karena skenarionya hanya merekayasa kejadian dalam kalimat positif. 

Lain hal dengan asumsi bahwa 'temanmu yang ceroboh dalam menyimpan barang'. Konotasi kalimatnya saja sudah berupa negatif, karena bersifat menyalahkan seseorang, sehingga asumsi ini membentuk skenario negatif.

Well, contoh ilustrasi di atas menggambarkan beberapa ciri playing victim.

Dilansir dari situs orami, playing victim merupakan situasi dimana seseorang melemparkan kesalahan kepada orang lain, padahal kesalahan tersebut adalah perbuatannya sendiri. Orang yang bersikap playing victim ini memposisikan dirinya sebagai korban, merasa lemah dan tak berdaya, bahkan cenderung memanipulasi orang lain karena tidak ingin orang lain menganggap dia salah. 

Well, asumsi tadipun menyebabkan kita tidak bisa berpikir logis, dan menganalisa fakta yang ada, sehingga kita cenderung menyalahkan orang lain yang berbuat salah, meskipun itu kesalahan kita sendiri. Kita hanya berusaha membela diri, agar tidak merasa bersalah.


Lalu, apakah semua INFJ seperti itu?

Tentu tidak. INFJ yang dewasa tidak akan bermain playing victim. Ingat, kedewasaan tidak tergantung pada umur. Remajapun bisa memiliki pemikiran yang dewasa.


Apakah kita harus menerima apa adanya sifat playing victim ini?

Semuanya bisa diperbaiki, kok! Asal kamu berniat baik dan tulus untuk memperbaikinya. Sebagai INFJ, untuk tidak lagi playing victim, kita perlu seseorang yang membawa kita kembali ke dunia nyata, yang bersedia mengingatkan kita akan fakta - fakta yang ada, sehingga kita bisa berpikir logis dan tak terbenam dalam asumsi yang kita buat sendiri.


Lalu, apakah bisa begitu saja kita mendengarkan orang lain yang mengingatkan kita?

Tentu tidak mudah. Tergantung siapa yang mengingatkan kita. Apakah dia orang yang berarti, atau sekedar lewat. Tergantung taraf kedewasaan, juga kebiasaan untuk mendengarkan dan berintrospeksi diri. Butuh waktu yang sangat lama untuk bisa dan terbiasa. Jika gagal terbiasa, maka akan gagal pula seumur hidup.

Jadi, terbiasalah untuk mendengarkan hingga selesai, dan introspeksi diri setelahnya. Jika asumsimu benar dan sesuai fakta, lanjutkanlah. Jika asumsimu benar dan tak sesuai fakta, maka asumsi tadi menjadi kenyataan. Jika asumsimu tak sesuai fakta dan salah, maka minta maaflah. 


Lagi, apakah asumsi positif selamanya baik, dan asumsi negatif selamanya buruk?

Kita bisa menganalisa dari contoh ilustrasi tadi, baik asumsi positif maupun negatif bisa digunakan untuk tujuan yang salah. Bisa bertujuan untuk mengambinghitamkan atau memanipulasi orang lain. Selama niat kita jahat, kita bisa menjadi jahat karena berbagai asumsi yang kita ciptakan. Begitupula jika niat kita baik, kita akan menjadi baik dengan asumsi yang kita ciptakan. And well, baik jahatnya seseorang sebenarnya sangat subjektif, tergantung perspektif setiap orang, meskipun perspektif kebenaran sudah disatukan oleh payung hukum dan berbagai kitab yang dimiliki oleh setiap agama.

Namun, jika kita berasumsi positif di kala ada orang yang jelas - jelas berniat jahat pada kita, tapi kita terbutakan oleh cinta dan sayang kepada orang tersebut, bisa jadi asumsi positif itu membunuh kita perlahan, menggerogoti setiap kesabaran, bisa pula menghancurkan fisik maupun batin, karena kebaikan kita hanya dimanfaatkan olehnya. Hal ini menghasilkan toleransi tinggi yang tak seharusnya ada.

Contoh, lagi. Karena cinta dan bakti terhadap suami, seorang istri yang memiliki suami yang abusive dan intolerant dalam segala hal, menganggap bahwa siksaan yang diterima dari suaminya merupakan bakti yang harus dia tempuh. Padahal, sudah jelas sekali tindakan kekerasan sangat tidak dibenarkan dalam rumah tangga, yang hanya akan menghancurkan fisik maupun batinnya. Asumsi positif yang dibuat sang istri terbutakan oleh cinta dan sayang kepada suami, yang secara faktual sudah melanggar hukum dan agama karena melakukan KDRT.

Mungkin saja ada perspektif lain yang bisa diungkapkan dari contoh ini, hanya saja saya masih belum yakin dengan kebenarannya. Biarlah hanya jadi pikiran lalu saya.

Jika asumsi positif digunakan disaat yang tepat, maka harmoni tercipta, tak ada drama dan konflik yang tak penting.


Lalu, apa yang terjadi, jika kita berasumsi negatif di saat yang tidak tepat? 

Asumsi negatif tadi malah merusak kepercayaan dan hubungan yang kita bina selama ini dengan orang terdekat kita, juga melukai perasaan mereka. Bisa juga menjadi pematah semangat bagi diri sendiri ataupun orang lain, karena selalu saja kata - kata negatif yang keluar dari mulut kita. 

Contoh (lagi). Setelah kamu menikah, kamu selalu cemburu dengan pasanganmu karena sering mendapat pesan singkat dari banyak lawan jenis. Padahal, suamimu tidak pernah membalas pesan - pesan itu. Namun, kamu mencurigai pasanganmu selingkuh, sehingga kamu memaksa pasanganmu untuk 24 jam bersamamu meskipun via online. Jika dia sedetik saja menghilang, kamu akan marah besar. Sungguh toxic, bukan?

Jika digunakan dalam waktu yang tepat, asumsi negatif ini bisa menjadi pembatas bagi kita untuk berjaga - jaga, mengawasi gerak - gerik orang lain yang mencurigakan/ ingin berbuat jahat pada kita. Dan bisa juga sebagai persiapan akan terjadinya hal buruk di masa depan, sehingga kita tidak down, atau terlalu terpuruk saat hal yang kita takutkan benar - benar terjadi, karena kita sudah bersiap - siap dengan asumsi negatif yang kita ciptakan.

Namun, dalam bentuk apapun asumsinya, jika digunakan dalam jumlah berlebihan, bisa mengakibatkan timbulnya istilah people pleaser atau depresi berkepanjangan dalam diri kita. Jadi, berasumsilah sebijak mungkin, dalam takaran yang pas dan di waktu yang tepat. Dan jangan pernah menyerah untuk menjadi bijak, karena itu adalah hal yang harus kita pelajari seumur hidup. 

Terimakasih sudah mengunjungi Personagram. Jangan lupa kunjungi Personagram di Instagram ya (@personagram.id dan @fellowinfj)! Semangat ya!

Comments

Popular Posts