Sudah memaafkannya, lalu apa?
Disakiti oleh seseorang sungguh tak enak, bukan? Terlebih jika ia melakukan kesalahan fatal terhadapmu, kamu pasti tak terima diperlakukan seperti itu.
Setelah membaca The Art of Forgiving, dan akhirnya kamu sudah bisa memaafkannya, kamu sudah melepaskan belenggu hati yang mengganggu fokus dan penyakit hatimu!
Hey, jangan salah! Semua gemuruh di dada (perasaan marah, sedih, terluka, dendam, penyesalan) itu bisa berkembang menjadi penyakit hati yang menggagalkan fokusmu untuk mencapai tujuan di masa depan. Dengan dendam, kamu malah memikirkan kesalahannya yang belum tentu disadari oleh yang bersangkutan. Memori masalalumu yang kelam dengannya terus menarik alam bawah sadarmu terjerembab ke dasar luka yang terus menerus basah karena kamu menyimpan dendam padanya. Apa yang kamu impikan menguap begitu saja karena fokusmu ditempatkan penuh pada kedendamanmu. Banyak waktu dan pikiran yang terbuang sia - sia. Jadi, dendam sangat tidak berguna, bukan?
Photo by Joe Pearson on Unsplash |
Dan lagi, dendam dan amarah akan menggerogoti kebaikan - kebaikan yang kamu perbuat. Jangan - jangan, tak hanya dia yang bersalah padamu, mungkin saja kamu pernah bersalah padanya, atau orang lain, hanya saja kamu tidak sadar akan kesalahanmu. Pada akhirnya, kamu hanya manusia biasa, bukan? Sama saja seperti dirinya yang telah menyakitimu.
Selanjutnya, ketika kamu sudah memaafkannya, lalu apa? Apa yang harus kamu lakukan terhadapnya?
Berikut beberapa pilihan yang bisa kamu tempuh sesuai kapasitas hati kamu.
Menjauhinya dan Memblokir Semua Akses Komunikasi Dengannya
Kamu yang tahu kapasitas hatimu seperti apa untuk menerima perlakuan tak menyenangkan dari orang lain. Kamu bisa ikhlas, kamu bisa takut disakiti lagi, dan banyak kemungkinan lain. Jika kamu tak melihat perubahan yang lebih baik dari dirinya, dan kamu tak sanggup lagi menghadapi toxic-nya dirinya, sebaiknya kamu menjauhinya. Ini bukan berarti kamu memusuhinya, tetapi kamu telah memaafkannya tanpa diketahui olehnya.
Tak ada yang salah dengan itu. Daripada kamu menjalani komunikasi tapi terus membatin dengannya setiap waktu, kamu hanya menimbun rasa benci pada dirinya, dan dosanya akan semakin menumpuk karena kebencianmu padanya yang rutin bergumul di hatimu. Kalian berdua malah rugi.
Jaga Jarak Dengannya
Kamu bisa tetap berkomunikasi dengannya, tapi hanya seperlunya saja ketika ada sesuatu yang penting atau mendesak. Kamu tak memusuhinya, tetapi kamu juga tak ingin lagi dekat dengannya. Ini bisa kamu terapkan jika yang melakukan kesalahan fatal terhadapmu adalah anggota keluargamu (sebab, mau tak mau mereka tetaplah saudara atau orangtuamu, bukan?). Berlaku juga pada teman atau sahabatmu yang dulu pernah dekat denganmu.
Apakah ini menyesatkan? Tergantung perspektifmu seperti apa. Menurut saya, ini demi menjaga kewarasan dirimu, karena mungkin saja jika kamu dekat lagi dengannya, traumamu akan timbul lagi, dan kamu akan overthinking lagi untuk yang kesekian kalinya. Sangat mengganggu dan buang waktu.
Tetap Dekat dan Bersikap seperti Biasa
Kalau kesalahan kecil atau biasa, mungkin hal ini tak terlalu sulit untuk dilakukan, tetapi jika kesalahan fatal? Mungkin saja ada orang yang legowo dengan itu, tetapi bukankah itu sama saja bunuh diri dengan memperdalam rasa sakit karena diperlakukan buruk oleh orang lain?
Memaafkannya, lalu bersikap biasa lagi, disakiti lagi, memaafkan lagi, disakiti lagi; siklus terus berulang. Harga diri terabaikan, mental trauma, hati terluka.
Namun, jika kamu tetap berdiri kuat untuk disakiti lagi lebih lama dengan orang yang sama, bisa saja kamu dinilai sebagai orang bodoh, tetapi Allah menilaimu sebagai orang yang berhati luas (selalu ada perspektif di balik perspektif, bukan? Tinggal dipilih mana yang akan kamu terapkan).
Contoh: Ibumu selalu meminta uang hasil keringatmu sebagai tanda balas jasa karena telah melahirkanmu, kamu diperas, dicaci maki jika tak memberi uang, dan lain sebagainya. Padahal, siapa sih anak yang minta dilahirkan ke dunia ini? Namun, kamu tetap memberinya uang, kamu tetap menafkahi dan menghormati Ibumu hingga akhirnya Ibumu terbaring lemah di kasur. Kamu tetap mengurus Ibumu dengan penuh kelembutan saat beliau sakit, meskipun Ibumu hanya menganggapmu sebagai investasi masa depan saat beliau sehat. Hingga akhirnya beliau meninggal, kamu tetap mendoakannya, dan Allah malah memudahkan kehidupanmu ke depannya karena baktimu yang tulus pada almarhumah Ibumu semasa hidup beliau. Dan mungkin saja pahalamu sangat besar karena ketulusanmu itu.
But, the question is 'will you do that?'. Jujur, saya sepertinya tak sanggup. Hati saya belum seluas samudera. Jika kamu bisa, kamu sangat hebat! Namun, jika kamu tidak bisa melakukannya, kamu tak salah. Kamu berhak memilih apapun sesuai kata hatimu, tentu dengan menanggung segala risikonya.
Jadi apapun yang akan kamu lakukan selanjutnya setelah memaafkannya, ikuti kata hatimu, ketahui kapasitas dirimu dalam berlapang dada, dan tetap fokus pada tujuan masa depanmu. Dengan memaafkan, langkahmu menuju masa depan akan lebih ringan, karena penyakit hati yang tertimbun dalam hati akhirnya sirna. Walaupun tak mudah, dan mungkin saja butuh waktu bertahun - tahun, kamu pasti bisa!
Terimakasih sudah mengunjungi Personagram. Jangan lupa kunjungi Personagram di Instagram ya (@personagram.id dan @fellowinfj)! Have a good life, Personaria!
Comments
Post a Comment