The Art of Forgiving

Di hari yang sakral umat Islam beberapa hari lalu, memaafkan adalah salah satu esensi kembalinya fitrah seseorang. Memaafkan menjadi pembersih hati yang dipenuhi oleh gelapnya luka, amarah, kebencian, dan penyesalan.

Namun, apakah semua itu sudah pasti dilakukan saat itu? Belum tentu. Banyak yang menganggap kegiatan saling memaafkan di hari Idul Fitri sebagai formalitas dan tradisi yang mau tak mau, ikhlas tak ikhlas, harus dilaksanakan. Mengapa saya katakan begitu? Sebab, setelah bermaaf - maafan, banyak manusia tetap berbuat kesalahan yang sama pada orang yang sama atau yang lain, atau masih menyimpan rasa sakit hati setelah Idul Fitri.

Sekarang, pertanyaan saya adalah, jika saling memaafkan hanyalah sebuah formalitas belaka di hari yang sepantasnya, bagaimana saling memaafkan di hari - hari biasa? Apakah momen itu masih ada di hari - hari biasa?

Ketika melakukan sebuah kesalahan, kita memiliki berbagai jenis reaksi yang terjadi pada perasaan kita, seperti menyesal, sedih, tak peduli, atau malah memutarbalikkan fakta bahwa kita tak bersalah. Reaksi ini dipicu dari hasil didikan orangtua atau lingkungan, yang menciptakan pola reaksi yang berulang - ulang, karena telah menjadi kebiasaan sejak dulu.

Apakah ketika manusia melakukan kesalahan, dia akan langsung minta maaf? Belum tentu. Reaksi - reaksi tadilah yang mendorong diri ke arah tindakan yang akan kita ambil selanjutnya; meminta maaf, tak peduli, atau playing victim.

Lalu, jika ada orang lain yang meminta maaf akan kesalahannya, akankah manusia memaafkan begitu saja? Belum tentu.

Photo by Christopher Stites on Unsplash

Memaafkan adalah sebuah proses panjang pergolakan batin individu yang mencoba untuk mendobrak tembok ketidakikhlasan dalam berlapang dada atas kesalahan orang lain. Apalagi, jika kesalahan yang dilakukan sangat fatal, maka memaafkan seperti hal yang mustahil untuk dilakukan.

Pernahkah kamu dengar orang lain mengucapkan kalimat ini? 

"Allah saja Maha Pemaaf, kenapa kamu ga mau maafin saya?"

Memang, Allah dengan segala luasnya jagat raya ini, sangat bisa memaafkan, bahkan kesalahan fatal sekalipun, tetapi, kita sebagai manusia, adalah makhluk yang banyak sekali kekurangannya. Dia saja bisa kurang dengan berbuat salah, mengapa kita tidak bisa kurang dengan tidak memaafkannya? Mengapa hanya dia saja yang bisa memiliki kekurangan sedangkan kita tidak? Mengapa hanya kita yang dituntut sebagai manusia sempurna?

Logikanya begitu. Namun, nyatanya, setelah beberapa kali mengalami kejadian mengejutkan tahun ini, saya memiliki perspektif lain tentang memaafkan. Bahwa... semua orang akan memaafkan pada waktunya. Maksudnya?

Baca sampai akhir ya!

Bagi orang yang sulit melupakan kesalahan fatal orang lain, memaafkan merupakan pergolakan batin yang melelahkan jiwa. Konflik batin terjadi hampir terjadi setiap waktu, bahkan bisa sampai terbawa mimpi, jika belum ikhlas memaafkan. 

Namun, memaafkan bukanlah hal yang mustahil, selagi kamu berusaha untuk melembutkan hati dan juga membuka pikiran agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Kamu tak perlu memaksakan harus memaafkan orang lain dengan segera, nikmati saja rasa sakitmu terlebih dulu, dan biarkan kamu healing traumamu hingga sembuh, sehingga saat kamu sudah sembuh, kamu bisa berpikir jernih tentang semua semua hal yang terjadi di masa lalu. Di sini, kamu sudah sembuh dan tidak berpotensi mengulangi trauma yang sama kepada orang lain atau generasi berikutnya, sebab kamu sudah berdamai dengan diri sendiri.  

Ketika kamu sudah damai dengan diri sendiri, kamu akan menemukan ketenangan dalam diri, karena kamu sudah tahu cara mencintai dan menghargai diri sendiri, bahkan ketika orang lain menyakitimu lagi, kamu bisa menanggapinya dengan santai, tanpa beban di pikiran. Selain itu, kamu juga bisa berpikir dari berbagai perspektif, tentang benar salahnya sesuatu, termasuk tentang trauma masalalumu. Perspektif apa saja yang bisa kita telaah?


Perspektif Orang yang Melakukan Kesalahan Fatal

Di dunia ini, manusia tak hanya diisi oleh orang - orang baik saja, melainkan orang yang buruk juga. Bahkan, sangat memungkinkan bila apa yang dianggap salah olehmu, tapi dianggap benar oleh sebagian orang lainnya.

Dengan melihat perspektif pelaku, kita bisa berempati, bisa menyelami perasaannya dan logikanya, mengapa dia melakukan kesalahan fatal itu. Walaupun prinsip, logika dan perasaan kita menolak, tetapi kita bisa mengetahui nuansa hatinya ketika melakukan kesalahan itu, juga alasan ia berbuat kesalahan itu. Sampai disini, kita hanya mencatat dalam hati, tetapi belum bisa memaafkannya secara utuh. Kita masih harus menyelami perspektif lainnya.


Masalalu Orang yang Melakukan Kesalahan Fatal

Tak ada akibat bila tak ada sebab. Mungkin saja orang tersebut berbuat kesalahan itu karena dia dulunya juga gagal menyembuhkan traumanya sendiri. Gagal menyadari bahwa dia sudah menjadi orang yang toxic. Semua orang memiliki tingkat survival mental yang berbeda - beda. Oleh karena itu, dengan melihat perspektif ini, kamu akan menemukan akar penyebab, mengapa ia bisa bersifat toxic seperti itu, bahkan mungkin saja kamu akan cenderung mengasihaninya setelah ini.

Contoh: Ayahmu adalah seseorang yang dingin dan hampir tak pernah berbicara denganmu selain hanya menyuruh ini itu. Kamu sangat segan dengannya, bahkan merasa tak mengenalnya karena beliau terlalu dingin dan kaku. Namun, ketika akhirnya kamu tahu, bagaimana pola asuh nenek kakekmu terhadap Ayahmu yang dinginnya lebih kejam, bahkan hingga sering dipukuli oleh mereka (kamu tidak pernah dipukuli oleh Ayahmu), kamu akhirnya mengasihani Ayahmu, karena beliau mengalami hal yang lebih mengerikan daripada kamu, dan beliau tak bisa menyembuhkan traumanya sendiri, sehingga kamulah yang menjadi korban. Kamu mulai bisa berlapang dada untuk memaafkan Ayahmu dan tak mengulangi hal yang sama untuk generasi berikutnya.


Manusia itu Dinamis

Manusia selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kita tak pernah bisa menjamin seseorang yang malas akan malas seterusnya, seseorang yang miskin akan miskin seterusnya, seseorang yang toxic akan toxic selamanya.

Bahkan manusia yang baik sekalipun bisa berubah menjadi lebih buruk. Tak ada jaminan yang hakiki untuk selalu menjadi baik.

Jadi, ketika seseorang tersebut memiliki niat yang mulia untuk berubah menjadi lebih baik, maka kamu akan melihat sebuah kebaikan baru darinya yang tak pernah kamu sangka. Kamu akan tercengang akan perubahannya, karena dirinya yang jahat dulu sudah tak ada lagi di individu yang sama. Walaupun pada akhirnya, komunikasimu dengannya masih kurang baik karena sudah terbiasa untuk tidak saling mengabari, tetapi dengan ikhlasnya hatimu dalam memaafkannya, menjadikan hidupmu lebih mudah dan bahagia, sebab segelintir sesal akhirnya lepas total dari dirimu.

Kamu tahu, apa yang seringkali membuat seseorang berubah menjadi lebih baik (walaupun tak semuanya), sehingga kita terketuk hati untuk memaafkannya?

Pertama, kehilangan. Kehilangan anak, orangtua, atau orang - orang yang disayangi, bisa melembutkan hati manusia. Manusia seringkali tak mengetahui betapa berartinya seseorang saat ia hidup. Saat sudah menjadi almarhum, segala kerasnya hati melunak, dan akhirnya ia bisa berubah menjadi lebih baik karena merasa kehilangan orang yang dicintainya (ingat, tidak semua ya). Dari situ kita mulai bisa memaafkannya.

Kedua, saat berada di titik terendah dalam hidup. Ketika seseorang pernah mengalami masa jaya dan mengakibatkannya lupa serta meremehkan semua orang di bawahnya, lalu dia terjatuh ke titik terendah, maka bisa jadi ia berubah menjadi lebih baik. Sebab, bisa jadi harta dan jabatan membutakan mata hatinya, sehingga ketika semua itu direnggut darinya, hatinya mulai melembut dan berubah menjadi lebih baik lagi (ingat, tidak semuanya ya). Dan dari situlah kita bisa mulai memaafkannya kembali.


Bagaimana jika orang yang bersalah padamu tersebut masih belum berubah hingga sekarang, dan tak ada niat untuk meminta maaf padamu? 

Kematiannya, atau kematianmu. Terdengar mengerikan ya, tetapi ketika seseorang yang bersalah pada saya telah wafat, saya merenung akan kesalahan - kesalahan yang beliau perbuat. Pikiran saya jadi terbuka akan perspektif baru dari sisi almarhum, yang dulu tak pernah terpikirkan. Dari perspektif itu saya mengerti, bahwa almarhum juga manusia. Almarhum memiliki trauma yang tak sembuh, sehingga saya menjadi korbannya. Namun, kematian almarhum menyadarkan saya bahwa hidup ini hanya sementara. Kebencian yang dibuat oleh almarhum kepada saya, saya maafkan, dan biarlah hanya di dunia ini saja, agar di akhirat sana, almarhum bisa terbebas dari rasa bersalah. We'll never know what happened in another world until we die.

Saat manusia akan wafat, penyesalan menghantui diri karena tahu bahwa diri akan menghadap Sang Illahi dalam waktu yang dekat. Memori masa kecil, kenangan bersama orang - orang terdekat, ataupun yang pernah kenal, menjadi flashback yang indah sebelum kematian. Penyesalan itupun diikuti dengan ikhlas melepas semua beban dendam dan sakit hati yang ada, sehingga saat berpulang, jiwa menjadi ringan dan tersenyum menghadap Sang Illahi.



Sebagai manusia yang selalu memiliki kekurangan, kita tak pernah luput dari kesalahan. Meminta maaf dan memaafkan bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan, melainkan menjernihkan jiwa agar lebih ringan hati dalam menjalankan hidup. Yuk, berjuang bersama untuk memaafkan semua orang! Saya juga sedang berjuang walaupun tertatih.

Take a deep breath.

Take your time.

Heal your trauma. 

Think about another perspective.

Forgive.


Terimakasih sudah mengunjungi Personagram. Jangan lupa kunjungi Personagram di Instagram ya (@personagram.id dan @fellowinfj)! Ied Mubarak!

Comments

Popular Posts