Hidupmu, Pilihanmu
"Don't blame the world for your decision."
Sadarkah kamu, jika kehidupan kita selalu bergantung dari pilihan yang kita ambil? Baru membuka mata dari tidur, kita dihadapkan pilihan; tetap tidur selama lima menit lagi, atau langsung bangun supaya tak kesiangan.
Bangun tidur, setelah mandi, kamu memilih untuk menggunakan pakaian apa. Lalu, kamu memilih untuk sarapan apa.
Itu baru hal yang kecil dan rutin sehari - hari. Bagaimana dengan pilihan yang kita buat dalam ranah yang besar?
Kamu menikah; apakah kamu yang memilih calon pasanganmu, atau orangtuamu yang memilihkannya?
Kamu kuliah; apakah kamu kuliah di jurusan yang kamu mau, atau kamu malah mengikuti jejak orangtuamu, padahal kamu tak ingin?
Kamu bekerja; apakah perusahaan itu baik untukmu? Memberikanmu kesempatan untuk berkembang, atau malah menjerumuskanmu ke praktik korupsi yang tak ada habisnya di perusahaan itu?
Dan lainnya. Banyak sekali ya. Sayapun tak menyangka bahwa saya berakhir hari ini, di sini, dengan karakter seperti ini, menulis artikel ini di hari yang dibasahi hujan sepanjang hari, semuanya karena pilihan - pilihan yang telah saya putuskan dalam hidup saya. Perjalanan menuju bijakpun panjang sekali, dan mungkin tak akan pernah ada habisnya, sebab, manusia adalah makhluk yang tak akan pernah bisa sempurna, mau dibentuk sedemikian rupa apapun. Jadi, saya hanyalah manusia biasa yang senang menulis dan memahami manusia.
Hey! Kembali ke topik. Jadi, bagaimana kita menyikapi berbagai pilihan yang disodorkan oleh dunia untuk kita?
Beberapa bulan yang lalu, saya tak sengaja melihat video Raditya Dika yang diwawancarai oleh Cinta Laura, lalu saya menontonnya (memahami manusia untuk jenis introvert seperti saya ini lebih mudahnya via menonton YouTube, lol).
Dalam wawancara tersebut, Cinta sempat menyebutkan filosofi Stoicisme, yang dianut oleh Raditya Dika. Lalu, saya lakukan sedikit riset, karena filosofi tersebut menarik perhatian saya, yang menjadikan Raditya Dika menjadi orang yang tak mudah 'baperan'. Menarik, bukan?
Saya simpulkan bahwa, Stoicisme merupakan filosofi yang mengatakan bahwa kita harus bersikap rasional (masuk akal) dalam setiap situasi apapun. Situasi apapun akan dihadapkan dengan berjuta pilihan, dan untuk mengambil pilihan yang tepat, kita harus berpikir rasional, jernih, tenang, dan tak gegabah, agar hasilnya pun tak menjerumuskan kita ke dalam hal yang buruk.
Photo by Egor Myznik on Unsplash |
Kamu punya kendali penuh atas hidupmu. Kamulah nahkodanya, kamulah yang berkuasa atas dirimu. Kamu berhak memilih mana yang terbaik untukmu. Ingat, dengan rasionalitas.
Tentu, tak ada manusia yang sesempurna ini dalam menghadapi setiap masalah, tetapi jika kita tanamkan pola pikir ini, kita akan berusaha berpikir jernih, sekalipun itu diiringi dengan tangisan.
Wah, terlihat sulit, bukan? Membacanya definisinya saja saya sudah mengatakan bahwa tak mungkin bisa selalu berhasil.
Lagipula, apakah bisa Stoicisme ini diterapkan untuk masalah hati atau perasaan?
Hmm, ada baiknya, saya deskripsikan dengan contoh ya, agar lebih mudah dipahami.
Contoh 1:
Kamu diundang ke pesta ulangtahun temanmu yang ke-17. Temanmu ini orang yang kaya raya. Dalam pestanya itu, rumornya, akan ada minuman keras, juga narkoba ringan seperti ganja/ sabu. Jangan salah, pergaulan seperti ini sudah kamu jalani di kelasmu, hanya saja tak pernah seterbuka ini terhadap akses miras dan narkoba. Kamu tak pernah mencicipi keduanya. Namun, karena temanmu ini punya pengaruh besar di kelas, bahkan sekolah, kamu takut akan berpengaruh kepada nilai atau reputasimu di sekolah. Oleh karena itu, kamu ikut ke dalam pestanya, dan akhirnya terpengaruh untuk mencoba miras dan ganja.
As a Stoic:
Kamu lebih memilih untuk tak ikut dalam pesta itu. Biarlah nilai atau reputasimu jelek di sekolah, asal akses pergaulan bebas yang begitu terbuka di pesta ulangtahun itu tak menjadi jebakan bagimu untuk menghancurkan masa depanmu; miras dan narkoba. Bahkan, jika kamu mau, kamu bisa meminta orangtuamu untuk memindahkanmu ke sekolah lain yang pergaulannya lebih sehat dibandingkan sekolah itu. Jika kamu jujur, orangtuamu perlahan mengerti. Namun, jika kamu bisa menahan diri dari pergaulan bebas, selama sisa tahun ajaran sekolah yang sebentar lagi berakhir, bertahanlah di sekolah itu.
Contoh 2:
Masih berhubungan dengan teman; setiap ulangtahun teman - temanmu, kamu selalu memberikan kejutan atau hadiah untuk membuat mereka senang. Namun, ketika kamu yang ulangtahun, kamu tak diberikan apapun, bahkan mengucapkan selamat ulangtahun saja telat. Kamu terkadang sedih karena tak dibalas dengan baik oleh apa yang kamu lakukan terhadap mereka.
As a Stoic:
Sudahlah, tak ada gunanya menjadi people pleaser setiap saat. Ulangtahunpun sebenarnya bukan hal yang patut untuk dirayakan, sebab, setiap tahun kita hanya semakin tua, dan malah mendekati kematian. Logis, bukan? Kamu ingin merayakan hari menjelang kematian temanmu? Tentu tidak, bukan? Lagipula, mungkin saja dia tak punya uang menjelang hari ulangtahunmu, sehingga dia tak bisa memberikan kado, atau membuat kejutan. Tentang terlambat mengucapkan selamat.. Ah, kamu terlalu banyak berprasangka buruk. Mungkin saja dia ketiduran, sibuk, lupa atau terkena musibah saat hari ulangtahunmu. Jadi, kesimpulannya adalah, merayakan, bahkan mengucapkannya sekalipun bukan merupakan hal yang penting. Bagi saya pribadi, saat kamu dalam keadaan senangpun temanmu tak perlu hadir juga tak apa. Yang penting, saat kamu dalam keadaan terpuruk dan sedih, sebagai teman kita harus saling tolong menolong, atau setidaknya berikan dia sandaran untuk meluapkan semua kesedihannya. Namun, jika senang dan sedih selalu dijalani bersama, mungkin saja memori pertemanan kalian lebih indah lagi.
Contoh 3:
Kamu bekerja di sebuah perusahaan, yang anehnya, menerapkan praktik korupsi, baik dalam skala kecil maupun besar. Uang kas kantor, digunakan untuk konsumsi, tetapi pada laporan keuangan ditulis sebagai pengeluaran alat tulis kantor. Lalu, memalsukan berbagai kuitansi sebagai bukti pengeluaran pada suatu proyek. Padahal, sebagian uang proyek masuk ke kantong pribadi, sehingga bahan bangunan yang dibelikan di lapanganpun tidak sesuai dengan kualitas yang telah ditetapkan. Kamu memilih bertahan, sebab menurutmu, mencari pekerjaan tidaklah mudah, dan ini merupakan kesempatan yang baik untukmu, kamu tak ingin melewatkan pengalaman ini. Dilemanya lagi, gajinya cukup besar, untuk seorang fresh graduate.
As a Stoic:
Saya kira ini masalah prinsip dan idealisme. Hal ini juga menjadi dilema sosial yang tak pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, ini menyangkut masalah perut, masalah hidup dan mati. Setiap perusahaan juga mungkin saja tak pernah bersih 100%, walaupun bisa jadi ada. Jadi, sebagai seorang yang masih jauh dari kata Stoic, saya sangat menghargai apapun keputusan setiap orang. Namun, jika ditanya bagaimana pendapat saya, saya akan keluar dari perusahaan itu. Faktanya adalah, contoh ini merupakan kisah nyata yang saya alami. Ya, saya memilih keluar karena hal tersebut bertentangan dengan hati nurani saya. Jika saya teruskan bekerja di sana, saya akan terjebak dengan kebiasaan korupsi walaupun hanya kecil - kecilan. Ini mengingatkan saya atas kesalahan di masalalu, dan saya tak ingin mengulanginya lagi. Memang tak pernah ada tempat di Indonesia ini yang bebas dari korupsi. Dan memang, saya sendiri merupakan seorang idealis. Saya juga siap menanggung risiko untuk tak ada pemasukan, tentu hal ini sudah saya pertimbangkan sebelumnya. Namun, tetap, saya menghargai keputusan apapun dalam hal ini.
Contoh 4:
Kamu jatuh cinta kepada seseorang yang menjadi rekan kerjamu. Kamu merasa usiamu sudah cukup dewasa dan matang untuk menjalankan sebuah pernikahan, dan kamu merasa harus melamar rekanmu ini. Kamu tak begitu kenal dengannya, dan ini sudah berlangsung selama tiga bulan lamanya. Kamupun tak pernah bertegur sapa, tetapi hanya tersenyum saat melewatinya, sebab kamu terlalu malu hingga jantungmu berdegup sangat kencang. Dia sangat cantik dan anggun menurutmu. Alhasil, setelah setahun hanya mengaguminya dari jauh, kamu tekadkan niat untuk meminta nomor ponselnya, dan menyatakan niat lamaran kepada dirinya sesegera mungkin. Awalnya, dia ragu, tetapi beberapa waktu setelah berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk menerima lamaranmu. Akhirnya, kamu menikah dengannya, dan mau tak mau, salah satu di antara kalian harus ada yang keluar dari pekerjaan. Istrimu mengalah. Setelah merasakan indahnya di mabuk cinta yang halal, istrimupun hamil. Namun, alangkah terkejutnya dirimu, mendapati rahasia istrimu yang tak terduga. Istrimu memiliki kebiasaan berhutang hingga milyaran rupiah karena mengikuti arisan online, dan bunga pinjamannya cukup besar. Mau tak mau, kamulah yang harus membayar semua hutang itu, dan kamu menyesal, mengapa dulu tak bertanya perihal ini.
As a Stoic:
Menikah tak asal jatuh cinta pada pandangan pertama, tak asal siap menghamili anak orang, tak asal mengambil anak dari orangtuanya. Jangan terbutakan dengan apa yang tampak di depan mata. Menikah sendiri berarti siap untuk saling terbuka tentang apapun, mulai dari masa lalu, latar belakang, keluarga, karakter, pendidikan, bahkan keuangan sekalipun. Menikah berarti siap dengan segala risiko yang akan menerpa, dan kita memang diuji untuk itu. Jadi, dengan keterbukaan tadi, kamu bisa mengetahui, sejauh mana kamu bisa bertoleransi terhadap kekurangan pasanganmu, kamu bisa berkomitmen untuk tidak melakukan ini itu, karena kalian akan mengarah pada satu visi yang sama. Jika tak bisa ditoleransi lagi, kamu bisa membatalkan impian untuk menikah dengannya. Dan keterbukaan ini sebenarnya sangat perlu dilakukan di awal hubungan. Agar, sebelum perasaan itu semakin dalam, jika ada ketidakcocokan yang tidak bisa ditoleransipun, kamu akan move on dalam waktu yang cepat, karena waktu bersamanya sangat singkat, jadi apa yang mau diingat? Pola pikirnya sesimpel itu. Ya, walaupun saat dijalani, saya tak yakin ada orang yang 100% rasional. Namanya juga cinta. Jika memang sudah terlanjur seperti contoh yang di atas, kalau kamu memang bersedia menanggung semuanya karena mencintainya, ya sudahlah, jalani semuanya dengan lapang dada. Jika tidak sanggup, pikirkan risikonya apabila kamu meninggalkan istrimu. Ingat, dia hamil anakmu.
Contoh 5:
Saat kamu kehilangan uang, kamu panik, menangis, bahkan grasa - grusu ke sana kemarin menyalahkan diri sendiri karena uangmu sebesar duapuluh ribu rupiah hilang. Walaupun kamu bisa mengambil lagi di ATM, tetap saja kamu tak rela uangmu hilang.
As a Stoic:
Tenang, berpikir jernih. Ingat - ingat, di mana kamu terakhir kali meletakkan uang tersebut. Apakah terselip? Atau sengaja disimpan di tempat yang tak terduga? Atau memang jatuh dan sudah dipungut orang lain? Jika jawabannya terselip, kamu pasti senang. Namun, jika jawabannya terjatuh, ya sudah. Itu kesalahanmu, tanggung risikonya. Mungkin kamu kurang hati - hati, atau celanamu berlubang kantongnya, atau kamu kurang sedekah.
Lantas, bagaimana dengan hal yang tak bisa diubah, seperti tak bisa menggantikan kita lahir di keluarga siapa? Bagaimana dengan trauma masa lalu yang terbentuk karena ketidakberdayaan kita saat masih kanak - kanak?
As a Stoic:
Inilah yang disebut takdir. Berbagai luka yang digoreskan dalam hatimu ataupun fisikmu di masa lampau, merupakan ujian bagimu dan menguatkanmu sebagai seorang manusia. Pelajaran berharga yang tak semua orang bisa mendapatkannya, dan kamu terpilih untuk menerima pelajaran itu, serta menjadikan kamu seorang manusia yang setangguh sekarang. Kamu tak bisa memilih siapa orangtuamupun, bukan suatu masalah, karena mungkin saja apa yang kamu pandang buruk dari orangtuamu, sebenarnya terselip kebaikan - kebaikan yang tak pernah kamu sadari keberadaannya. Stoicisme ini juga mengantarkan pada kita bahwa Sang Kuasa mempunyai maksud dan tujuan tertentu untuk mentakdirkan kita kepada orangtua kita. Jadi, apapun yang tak bisa diubah, terimalah dengan ikhlas dan lapang dada. Anggaplah penyesalan akan trauma masalalumu sebagai pelajaran yang berharga. Ingat, setiap sesuatu pasti terjadi karena sebuah alasan.
Semoga beberapa contoh di atas bisa mewakili filosofi Stoicisme yang sangat baik untuk diterapkan. Namun, itu jawaban saya ya, mungkin setiap orang punya jawaban rasional yang berbeda atas setiap contoh yang saya berikan tadi.
Yang jelas, hidupmu bergantung dengan apa yang kamu pilih. Apapun itu, nikmatilah dan tanggung risikonya. Positive thinking, tawakal, dan berpikir rasional merupakan langkah Stoicisme yang akan mengantarkanmu pada produktifitas yang meningkat, serta hati yang damai. No more baperan!
Terimakasih sudah mengunjungi Personagram. Jangan lupa kunjungi Personagram di Instagram ya (@personagram.id dan @fellowinfj)! Love yaa, Personaria!
Comments
Post a Comment