Kapan Nikah?
Menikah.
Sesuatu yang seringkali dijadikan tujuan menengah kehidupan manusia, khususnya pada usia pertengahan 20-an di Indonesia. Saat di perkumpulan keluarga atau reuni, selalu saja ada pertanyaan,
"Kapan nikah?"
Photo by Eric Alves on Unsplash |
Pertanyaan ini kerap menjadi momok bagi muda - mudi yang baru beranjak dewasa, yang resah karena tak ada tanda menikah dalam waktu dekat. Apalagi jika hampir mendekati umur 30 tahun, atau bahkan sudah lewat, maka kegelisahan semakin menjadi.
Melihat teman yang sudah menikah, atau bahkan sudah memiliki anak, membuat banyak muda - mudi iri dan ingin cepat menikah.
Namun, apakah menikah seindah yang terlihat? Here we go!
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci antara dua insan melalui komitmen untuk hidup bersama dan melengkapi satu sama lain. Ikatan suci ini merupakan ibadah yang cukup besar, dan juga sangat berat untuk dijalankan.
Berat? Kok bisa? Bukannya menikah itu enak ya?
Well, mari kita simak mengapa pernikahan itu berat untuk dijalani.
Memahami Karakter Satu Sama Lain
Pernikahan menyatukan dua manusia yang berbeda. Berbeda pola pikir, gender, usia, pola asuh, ekonomi, dan sebagainya. Jika kamu sudah berpacaran bertahun - tahun, dan kamu merasa sudah mengenalnya secara dalam, yakinlah, ketika menikah, kamu akan terkejut dengan sikap dan sifat asli pasangan. Ibarat, saat menikah, kalian akan satu rumah, dan rumah adalah tempat yang nyaman untuk pulang, sehingga saat seseorang berada di rumah sendiri, dia akan memperlihatkan sifat aslinya.
Mulai dari gaya tidurnya, meletakkan handuk, makan, semuanya sudah menjadi siklus kebiasaan sejak dulu. Bahkan pemikiran tentang sesuatu, love language, semuanya bisa berbeda, dan tak jarang menyebabkan pertengkaran sekecil apapun.
Pada beberapa kasus, ketika suami istri langsung punya anak setelah menikah, mereka tak punya banyak waktu untuk mengenal dan memahami karakter satu sama lain. Mereka langsung fokus pada anak. Hal ini tak jarang menyebabkan suami maupun istri sentimental dengan emosi mereka sendiri, karena mereka merasa tak didengarkan dan dipenuhi haknya satu sama lain. Selain itu, bisa jadi suami maupun istri sering marah - marah, bahkan tak jarang dilampiaskan kemarahannya ke anak. Adapula yang responnya diam, seperti perang dingin, dan mencari kenyamanan di luar rumah tangga.
Sulit? Ya sulit. Apalagi kita tidak bisa mengubah karakter seseorang. Sebab, perubahan harus diniatkan dari diri sendiri.
Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi perbedaan karakter pasangan?
Pertama, deeptalk. Bicarakan apapun kepada pasangan, di waktu dan mood yang tepat. Misalnya, menjelang tidur, atau saat libur. Bicarakan padanya bahwa kamu tidak suka sifatnya yang ini, atau kamu mengagumi sifatnya yang itu. Dan kebanyakan, sifat yang ada pada seseorang disebabkan oleh suatu peristiwa di masa lalu. Ketika kita tahu latar belakang sifatnya seperti apa, kita bisa berempati, atau mengingatkannya sesuai dengan konteks, tanpa menyinggung perasaannya.
Kedua, coba pahami apa yang dia rasakan. Pahami apa perannya dalam rumah tangga, pahami istri betapa lelahnya ia mengurus rumah, mengurus anak, memasak untuk keluarga. Pahami suami, betapa kerasnya ia bekerja, betapa pusingnya dia memikirkan pembayaran hutang dan cicilan, betapa lelahnya pergi dan pulang kerja dalam jarak yang jauh. Berempatilah, hargai, puji, dan berterimakasihlah pada pasangan.
Ketiga, jeda punya anak di awal nikah. Barangkali setahun hingga tiga tahun. Mengapa? Waktu selama itu dapat digunakan untuk memahami karakter satu sama lain secara utuh, sehingga sisi karakter yang bertolak belakang dengan pasangan bisa diatasi dengan pembiasaan dan pemahaman satu sama lain. Jika kamu hanya tahu dan terbiasa, tanpa mau memahami, bisa jadi, kamu makan hati setiap melihat pasangan. Jadi, terbiasalah, dan pahamilah sifat pasanganmu.
Keempat, mengalah. Seni mengalah dan memaafkan itu bisa dilakukan pada waktu, sifat, sikap dan kondisi yang tepat. Misalnya, karakter sang istri yang gercep (gerak cepat), bertolak belakang dengan suami yang penuh dengan kehati - hatian. Ketika ingin pergi bersama untuk bertamasya, suami malah membatalkannya, karena firasatnya tak baik. Sebagai istri, tentu kamu marah karena kamu sudah bersiap - siap. Pada akhirnya, kamu mengalah. Beberapa saat kemudian, hujan deras disertai angin kencang. Jika saja tadinya kalian berangkat, kalian akan basah kuyup di jalan karena berangkat naik motor dan belum punya jas hujan. Kamupun bersyukur tak jadi berangkat.
Contoh lain lagi, istrimu bisa berhemat dan cukup perhitungan, sedangkan kamu sebagai suami cukup royal dalam mengeluarkan uang. Kamu bertengkar dengan istri karena memperebutkan siapa yang harus mengatur uang. Kamu merasa egomu terluka karena tak dipercayai sang istri untuk mengatur keuangan. Dan berakhir kamu yang memenangkan argumen. Namun, sebulan kemudian, gajimu yang cukup besar tidak cukup untuk memenuhi cicilan dan biaya makan perbulan, sehingga kamu mengalah dan membiarkan istri mengatur keuangan rumah tangga. Ternyata, keuangan berjalan dengan baik.
Finansial
Menikah tak hanya melibatkan perasaan, tetapi juga logika. Jika menikah hanya karena cinta, dan faktor lain diabaikan, lantas mau makan dengan apa? Batu? Tidak, bukan?
Dilansir dari jurnal Al-Azhar Seri Humaniora, faktor ekonomi memiliki persentase 45% sebagai penyebab perceraian. Cukup besar ya. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya persiapan finansial oleh kedua pasangan, salah satu atau kedua suami istri merupakan sandwich generation, suami malas, dan banyak alasan lainnya. Betapa menyedihkannya bercerai hanya karena ekonomi, bukan?
Pernikahan adalah sebuah babak baru dalam kehidupan dua insan, sehingga membicarakan keadaan dan rencana finansial merupakan hal yang cukup krusial untuk mencegah terjadinya konflik di kemudian hari. Keterbukaan sangat diperlukan disini. Kita juga harus tahu, apakah pasangan sebelum menikah memiliki hutang apa tidak, bagaimana dia mengelola uang, bagaimana dia bersikap terhadap uang, apakah boros, suka berhutang, hemat, dan lainnya. Jika ada ketidakcocokan dalam me-manage uang, kamu bisa mempertimbangkan kembali, apakah keputusanmu untuk menikah dengannya tepat atau tidak, begitupun sebaliknya.
Status calon suami yang belum memiliki pekerjaanpun patut dipertimbangkan. Apakah memang dia sedang berusaha, atau karena dia memang malas, kamu sebagai pihak perempuan harus menelusuri karakternya. Sebab, jika dia memang malas, dia tidak akan punya rasa tanggungjawab yang baik untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya kelak. Well, pride seorang lelaki adalah bekerja, bukan?
Memiliki anak juga membutuhkan biaya yang tidak murah. Sehingga, rencanakanlah, kapan waktu yang tepat untuk memiliki anak. Jangan sampai anak menderita karena keadaan ekonomi rumah tangga yang belum stabil.
Selain itu, sepakatilah, apakah sang istri boleh bekerja atau tidak, disesuaikan dengan kondisi ekonomi maupun prinsip kalian sebagai suami istri.
Bahkan status ekonomi saat melajang yang berbeda (misalnya suami kurang mampu, istri kaya) bisa menjadi pemicu stres, jika terjadi guncangan ekonomi di dalam pernikahan. Bisa saja sang istri tidak terima dengan gaya hidup yang biasa saja karena terbiasa hedon. Ini juga harus dipertimbangkan dan dibicarakan baik - baik sebelum menikah.
Sebab... pernikahan bukan sekedar mulai dari nol yang hampa, tetapi bagaimana nol itu dimulai dari ambisi yang dimiliki suami istri untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga, tetapi tetap bersyukur dengan apa yang ada, dan berbagi kepada sesama. Suami bekerja, itu suatu keharusan, karena suami adalah kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Namun, istri boleh bekerja boleh tidak, tergantung kesepakatan bersama dari suami istri itu sendiri.
Deeptalk
Saya sering menekankan di beberapa artikel blog ini, bahwa deeptalk merupakan salah satu sarana paling ampuh dalam mengenal seseorang lebih dalam. Dalam pernikahan, interaksi yang dilalui sepasang suami istri sebagian besar adalah mengobrol. Jadi, deeptalk sangat penting untuk keberlangsungan pernikahanmu.
Bahkan, di hari tua nanti, saat raga sudah sayu dan kurang berenergi, obrolan dengan pasanganlah yang menjadi penghibur utama untuk mengusir rasa sepi. Mengenang masalalu hingga mendiskusikan banyak hal.
Ironisnya, banyak orang yang menikah, tetapi tidak nyambung jika mengobrol tentang sesuatu, karena tidak sefrekuensi, beda minat dan hobi, atau beda tingkat pendidikan. Yang harusnya kamu bercerita kepada pasanganmu, tetapi kamu memilih merahasiakannya, karena pasanganmu tak akan memahami apa yang kamu ceritakan. Apalagi kamu harus seumur hidup bersamanya. Kamu tak ingin tersiksa kesepian walaupun sudah berdua, bukan?
Oleh karena itu, carilah pasangan yang sefrekuensi. Terkadang berbeda minat dan hobi bahkan pendidikan yang rendah bukan menjadi faktor seseorang lambat dalam mencerna sesuatu. Lihatlah caranya berbicara, pahami pola pikirnya, apakah membuatmu terkesima dengannya atau kamu malah cenderung meremehkannya. Jika kamu terkesima, tertawa dan bisa mengobrol berjam - jam, maka mungkin saja kamu cenderung satu frekuensi dengannya.
Namun, yang jelas, hal ini tidak bisa diketahui sehari dua hari. Kamu perlu waktu yang cukup lama untuk mengenal pola pikir pasanganmu. Bersiap - siaplah!
Bagaimana jika sudah terlanjur menikah dengan orang yang tidak sefrekuensi? Well, ini sudah menjadi risiko, karena kamu sudah memilih berkomitmen dengannya. Coba bicarakan dari hati ke hati, apa yang kamu inginkan, begitupun dengan dia. Masih banyak jalan menuju Roma. Namun, jika sudah melanggar batas seperti KDRT dan selingkuh, mungkin kamu perlu pertimbangkan kembali nasib pernikahanmu. Yang tau harus bercerai apa tidak ya hanya kamu, bukan pihak manapun. Ikuti kata hatimu, karena kamulah yang menjalankannya. Sekedar saran dari orang lain hanyalah tambahan list pertimbangan untuk memutuskan sesuatu, bukan untuk plek diikuti.
Masalalu
Godaan lain di rumah tangga, tak lain tak bukan adalah... mantan. Apalagi jika belum selesai dengan masalalu, maka hal ini bisa menjadi bumerang di kehidupan pernikahan nanti.
"Beruntunglah jika kamu menikahi orang yang kamu cintai."
Memangnya bisa menikahi orang yang tidak kita cintai? Sangat bisa, jika kamu mengandalkan logika, walaupun perasaanmu pada masalalu tak sepenuhnya hilang.
Itulah alasannya, mengapa banyak orang yang sudah menikah tetapi masih mengenang masalalunya, karena orang di masalalu adalah orang yang pernah dicintainya, dan menjadi memori indah yang tersimpan dalam ingatan.
Namun, mereka terus berusaha mencintai pasangan sahnya berjalan seiringnya waktu. Terdengar kejam ya bagi pasangannya, tetapi jika memang dia betul berusaha, dia takkan mencoba menghubungi atau menyimpan benda pemberian masalalunya, bahkan menunjukkan afeksi yang cukup baik kepada pasangan sahnya.
Namun, pada kasus lain yang seringkali menjadi masalah; mencoba untuk kepo terhadap kabar mantannya saat ini. Masih menyimpan fotonya, benda pemberiannya, bahkan berusaha menghubungi dan bertemu kembali dengan mantannya. Dan tak jarang, pasangan sahnya malah diabaikan, komitmenpun goyah, sehingga memicu terjadinya perselingkuhan.
Uniknya lagi, ada beberapa kasus, dimana orang yang sudah menikah berpura - pura single atau janda/ duda. Orang - orang seperti ini biasanya ingin mengambil keuntungan darimu, misalnya ingin sex, harta, jabatan atau cintamu, dengan mengesampingkan pasangan sahnya. Jika kamu ingin menjalani hubungan pernikahan dengan janda/ duda, pastikan kamu melihat akta cerainya ya. Dengan melihat keabsahan dokumen tersebut, kamu bisa yakin bahwa dia sudah selesai perasaannya dengan masalalunya (kecuali urusan anak bawaan mantan istri/ suaminya ya, itu risiko menikah dengan duda/ janda). Jangan sampai kamu jadi selingkuhan orang lain.
Kasus serupa pula, orang mengaku sudah bercerai, tetapi ternyata belum cerai secara hukum. Setelah menelusuri, kamu mungkin bisa yakin dia sudah bercerai, tetapi jika belum bercerai secara hukum, malah akan menambah masalah baru di masa depan nanti jika kalian menikah. Apa masalahnya? Dokumen untuk keluarga baru kalian. Kartu Keluarga (KK) miliknya masih terpatri nama mantan suami/ istrinya. Iya jika mantannya bisa diajak bekerjasama mengurus dokumen perceraian, jika tidak? Selamanya nama kalian ketika menikah nanti takkan bersatu di KK. Di masa depan, jika ini tak diselesaikan dengan baik, kalian akan kesulitan mengurus banyak hal, dan mungkin saja kamu tidak mendapatkan bonafit untuk keluarga dari perusahaan tempatmu bekerja, karena statusmu masih single di KTP dan KK. Belum lagi anak kalian yang harus punya akta kelahiran, ijazah, dan lainnya. Siapa nama Ayahnya? Nama Ibunya? Jadi, pastikan duda/ janda yang akan kamu nikahi telah bercerai secara hukum agar tidak ada kesulitan mengurus dokumen negara di kemudian hari. Sepele ya, tapi sangat penting.
Jadi, pastikan pasanganmu selesai dengan masalalunya, begitu juga denganmu. Namun, jika belum selesai, telusuri apakah dia benar - benar berusaha untuk mencintaimu. Effort-nya pasti terlihat sangat jelas jika dia berniat untuk mencintaimu. Jika ingin menikahi janda/ duda, periksa akta cerainya.
Keluarganya menjadi Keluargamu
Ketika menikah, kamu tak hanya menikah dan bersatu dengan pasanganmu, tetapi juga keluarganya. Bersyukurlah jika kamu mendapatkan mertua dan ipar yang baik dan pengertian. Jika sebaliknya?
Saya sering membaca kasus ibu mertua yang sangat protektif terhadap anaknya (suami). Ibu mertua merasa bahwa anaknya telah direbut oleh menantunya, dan berdalih bahwa anak laki - lakinya harus berbakti sepanjang hayat kepada ibunya. Sebenarnya dalihnya benar, tapi pengaplikasian dalam kehidupan nyatanya yang kurang tepat, karena menganggap menantunya merupakan saingan beliau yang harus disingkirkan. Aneh, kan?
Adalagi kasus berbeda, dimana mertua atau ipar yang hobi berhutang, dan membebankan hutang itu pada anak dan menantunya.
Lain lagi, kasus tinggal serumah dengan mertua/ orangtua sendiri setelah menikah. Pasti ada saja drama yang muncul, apalagi kalau mertua/ orangtua terlalu ikutcampur urusan rumah tangga kalian.
Jadi, sebelum ke jenjang pernikahan, pastikan kamu mengetahui karakter keluarga sang istri/ suami. Drama dengan keluarga besar bukanlah hal baru dalam kisah pernikahan, sehingga kamu harus tahu bibit bebet bobot pasanganmu dan keluarganya.
Bosan
Bertemu dengan orang yang sama setiap hari bisa membuatmu muak dengannya. Apalagi dengan menghadapi sifat buruknya, mengalah, dan melakukan sesuatu untuknya, berpotensi membuat dirimu dan dirinya bosan, terkikis rasa cintanya, dan mengharapkan imbalan atas apa yang kamu lakukan untuknya.
Kita bisa lihat sendiri contohnya pada orangtua kita. Mayoritas orangtua kita sudah jarang beromantis-ria dan lebih mengedepankan logika daripada perasaan di usia senja. Mereka bosan satu sama lain, tetapi mereka mencintai satu sama lain. Bisa terbentuk love-hate relationship, atau malah tetap romantis (tapi ini jarang). Sering marah - marah, sering bertengkar, tetapi masih tetap bercanda, tertawa satu sama lain, dan menunjukkan rasa cinta melalui tindakan. Seperti membuatkan kopi, mengantarkan ke pasar, membelikan buah tangan sehabis pulang kerja, dan lainnya.
Iya seperti itu, jika pasanganmu adalah seorang yang setia dan kamu setia. Bagaimana jika tidak?
Bagaimana dengan tabiat selingkuh yang sudah mendarah daging? Bagaimana jika rasa bosan mengantarkan kalian pada perceraian? Apalagi banyak di luar sana laki - laki maupun perempuan yang good looking, yang sefrekuensi denganmu, dan ketika bosan melanda, semua itu menjadi godaan yang cukup besar untuk menggoyahkan bahtera rumah tanggamu.
Pasanganmu ibarat pasir. Jika kamu menggenggam pasir terlalu erat, pasirnya akan jatuh berluruhan, jika kamu tak menggenggamnya pasirnyapun akan berluruhan juga. Yang tepat adalah kamu menggenggamnya dengan proporsional, tidak lebih tidak kurang. Berikan ruang, tapi tetap kontrol kekuatannya.
Pada akhirnya, jika seseorang pada dasarnya suka selingkuh, ditahan dan dikontrol seperti apapun, dia akan tetap selingkuh, karena dia punya seribu cara untuk melakukannya. Namun, jika seseorang pada dasarnya setia, jika dibebaskan kemanapun, dia akan tetap kembali kepadamu, menjadikanmu sebagai tempat pulang yang nyaman dan hangat.
Jadi, sebelum menjalankan fase bosan di usia senja pernikahan nanti, pastikan kamu memilih seseorang yang setia ya.
Bagaimana? Setelah membaca hal - hal tadi, apakah kamu masih berpikir bahwa menikah itu indah?
Itu masih segelintir masalah yang terjadi di rumah tangga, masih banyak hal lain yang belum saya tuliskan disini, mungkin lain kali.
Namun, jangan takut untuk menikah ya! Ketika kamu sudah cukup dewasa dalam menghadapi dunia, dan kamu sudah menemukan bahwa dialah orangnya, kamu akan yakin suatu saat nanti, bahwa pernikahan itu akan terjadi pada dirimu dan dirinya. Persiapkan semuanya dengan matang ya!
Terimakasih sudah mengunjungi Personagram. Jangan lupa kunjungi Personagram di Instagram ya (@personagram.id dan @fellowinfj)! Ciao!
Comments
Post a Comment